Selasa, 26 Februari 2013

14 jam di Yogjakarta

Pukul 07.00 saya menapakan kaki di stasiun Lempuyangan, Yogjakarta. Kunjungan ini adalah kunjungan pertama saya ke Yogjakarta. Senenggggg pastinya, karena liburan yang tak sampai 24 jam ini saya lalui sebagai reward saya atas usainya masa pendidikan strata 1 saya. Sebelum pulang kampung ke Malang, saya memang sengaja ngintil Si Ika (teman sekamar saya) ke Yogja. Berpikir aji mumpung, mumpung ada waktu kosong, dan ada temen yang mau liburan ke Yogja, yaaaa ikut main-main dulu lahhhhh ;p

Di kereta Progo, jalur Jkt-Yogja
Biar irit karena lagi akhir bulan, saya dan Ika naik kreta Progo, kelas ekonomi, yang harganya cuma 33.500 saja. Haha dengan ngrogoh kocek segitu, dalam 10 jam kami sudah bisa sampai Yogjakarta dengan selamat. Jadi sisa uangnya bisa dipake belanjaaaa, Horeeeeee

naik becak keliling Yogja
Kesan pertama di Yogja. Yogjakarta nampaknya tidak menyediakan angkutan kota atau bus kota sebagai alat transportasi jarak dekat. Di sana hanya tersedia becak, delman, ojek, taxi, transyogja, dan bus antar-kota. Kalau kita mau bepergian, yang paling murah adalah menggunakan transyogja, hanya 3000. Namun, kelemahan menggunakan transyogja adalah halte yang tersedia masih sangat minim dibanding di jakarta, jadi saya merasa kesulitan untuk bepergian ke tempat-tempat wisata di sana. Untuk menjangkau halte transyogja saja, dari stasiun Lempuyangan tempat kedatangan saya, saya harus jalan kurang lebih 0,5 km. Dan berpikir efisiensi waktu dan tenaga, akhirnya saya memutuskan menggunakan becak sebagai sarana transportasi saya menuju tempat penginapan.

Kesan Kedua di Yogja adalah tukang becaknya. Tukang becak di Yogja itu sangat ramah-ramah, sampai-sampai pandai sekali mengelabuhi penumpang/turis. Mengapa saya berpendapat demikian. Pengalaman pertama saya naik becak di Yogja. Negosiasi awal yang kami lakukan berakhir pada angka 20.000 rupiah dengan bonus akan diantarkan pula ke tempat-tempat wisata seperti pusat kaos, batik , dsb tanpa menambah biaya lain-lain. Pada perjalanannya, si bapak becak ini sangat baik dengan mengajak ngobrol sana sini, memberikan beberapa rekomendasi penginapan-penginapan yang bagus, dsb. Hingga tiba di penginapan yang telah kami pesan pun, bapak becak tersebut menyanggupi untuk menunggu serambi kami berberes, lalu mengantarkan kami ke pasar beringharjo. Dan kami pun sudah berniatan untuk memberi tip tambahan sebagai apresiasi kebaikan layanan yang telah diberikan oleh si bapak becak.

Okeee, kami pun senang karena beranggapan bahwa kami telah mendapatkan tukang becak yang buaikkknya masa'alah. Namun ternyataaa, jeng jeng... Perjalanan menuju pasar beringharjo dilalui dengan berbagai kecurigaan. Bapak becak malah mengajak kami ke tempat-tempat perbelanjaan (pusat-pusat grosir di jogja). Bapaknya seakan memaksa kami untuk melihat-lihat dan mampir ke toko-toko rekomendasinya. Beberapa toko dia rekomendasikan, dan kami pun tidak begitu tertarik karena tujuan pertama kami memang pasar beringharjo. Kecurigaan kami semakin menjadi-jadi ketika bapak becak mengatakan bahwa pasar beringharjo buka pada 11.00. Dan saat itu masih 09.30, jadi mending belanja di pusat perbelanjaan di situ karena di pasar pun ngambil barangnya dari pusat perbelanjaan situ, kata bapak becak.

Kesal mendengar ocehan dan rayuan yang seakan memaksa itu, saya dan Ika memaksa untuk diantarkan ke Pasar Beringharjo dengan alasan kami terlanjur ada janji dengan teman di sana. Dan tetap saja, dalam perjalanan ke Beringharjo pun, si bapak becak tetap merekomendasikan toko-toko pusat perbenlanjaan kepada kami, namun kami jelas menolak dengan tegas. Kesal dan curiga mendalam terhadap si bapak becak. Kami takut dengan semakin lamanya kami bersama Bapak becak, dia akan meminta ongkos lebih. Padahal, kami bukan turis kaya yang bisa diporotin kapan aja. Kocek kita pas-pasan mennn... ckckkck
Makanya, semakin cepat sampai di Beringharjo, kami akan semakin lega dan terbebas dari bapak becak mencurigakan itu.

Dan sesampainya di Beringharjo, taraaaaaaa, dengan kesal kami memberikan uang 30.000, dan muka bapak becak yang awalnya senyum-senyum baik sok ramah itu, berubah jadi cemberut dan tidap puas dengan bayarannya. Dia meminta tambahan ongkos 10000. Dan dengan muka kesal saya mendebat bahwa negosiasi awal kan 20rb dengan putar-putar ke tempat belanja. Dan bapak becak menyangkal "tapi ini kan udah antar kota mbak". Sedih, dugaanku benar. Ga ada orang baik yang benar-benar baik, terlebih lagi Yogja adalah kota pariwisata. Dia hanya menggunakan tipu daya rekayasa agar turis percaya dan mengikuti alur cerita yang dibuat oleh si tukang becak, sehingga bapak becak bisa mematok ongkos lebih dengan alasan jauh/antar kota. Well, tanpa memperkeruh suasana, saya memberikan 10rb.nya lagi. Dan kami langsung masuk ke Pasar Beringharjo.

Beli kain lurik sorjan khas Yogja, di Pasar Beringharjo.

Beberapa kain yang saya  beli lagi adalah kain brokat warna biru dongker dan putih tulang, lalu kain mori halus untuk membuat batik di Malang. Saya juga membeli sepasang sandal kulit imitasi yang lueemes dan halus buat mama dan sandal sableng warna coklat kegemaran saya (saya sempat 2x membeli sandal ini tapi raib karena suatu alasan. Makanya saya beli lagi untuk ketiga kalinya karena memang suka dengan sandal sablengnya Yogja).

bersama penerima tamu di toko Mirota, Yogja
Berbagai pernak-pernik khas Yogja dijual di Mirota
Dompet kulit imitasi
bando dari kain batik
Topi anyam
Topeng sebagai hiasan dinding

Banyak sekali jenis pola batik yang dipajang di Mirota

Batik Khas Yogjakarta
14 jam di Yogjakarta, saya hanya sempat mengunjungi pasar Beringharjo dan selosor jalan malioboro. Pukul 14.00 saya dan Ika memutuskan untuk kembali ke penginapan karena faktor fisik. Kami berencana naik becak kembali dengan negosiasi awal 10rb dan maksimal dealing 15rb, namun setelah tanya ke bapak becaknya, di bapak becak bilang "wahh..jauh itu mbak, paling 30rb. Tapi nanti sekalian saya antar ke pusat Bakpia yaa, mau? nanti juga kalo mau keliling ke pusat perbelanjaan lain. Iya?" Dengan sewot dan spontan, kami langsung menolak dan berjalan dengan seberang, ke arah halte transyogja. Dalam antrian transyogja, saya dan Ika sekilas menyimpulkan bahwa budaya tukang becak di Yogjakarta memang seperti itu. Mereka mematok harga dengan iming-iming akan diantar ke pusat perbelanjaan lain. Info terakhir, alasan mereka berperilaku seperti itu adalah karena mereka akan mendapat imbalan dari toko pusat perbelanjaan jika si Turis yang mereka antar membeli barang di toko rekomendasi si Tukang becak. Hmmmm saya mulai tidak percaya dengan orang-orang di Yogja, khususnya tukang becaknya. Padahal selama saya berada di Yogja, saya menggunakan bahasa Jawa Halus, yang mana tergolong sopan dan sebudaya dengan Yogja, namun yang saya dapat adalah kekecewaan bukan kekerabatan. Fiuhhhh :(


Nuansa di sekitar malioboro dan pendopo prawirotaman

Tas-tas kulit di jalan malioboro

Beberapa hal unik di Yogja yang saya temukan:

bakpia raminten, ternyata disajikan dengan ikon yang lucu
Nenek ini tampak Unik dengan Ikat rambutnya, dan kombinasi warna barang-barangnya
kalo di bali, kain kotak2 hitam putih untuk sarung pohon, kalo Yogja pakai kain batik untuk sarung pohon

Kesan selanjutnya terhadap Yogjakarta adalah tukang taxi. Singkat cerita, jangan terlalu percaya juga dengan tukang taxi di Yogja, karena pengalaman saya membuktikan bahwa tukang taxi di sana sok tau dan tidak solutif blasss. Jadi dari pada disasarkan oleh tukang taxi, mending tanya temen dulu kalo mau kemana-mana, trs sok tau aja, gag pake tanya-tanya arah ke tukang taxi, yang ada malah argo mahal dan gag sampe tujuan yang kita mau. Lainnya adalah terhadap penjual makanan di pujasera dengan Stasiun Tugu. Buset dahh, kejadiannya berawal dari saya yang sedang berdiri menunggu Ika yang pergi menjemput pacarnya di St.Tugu. Melihat saya berdiri dan menunggu teman di pinggiran pujasera, mbak-mbak penjual makanan di pujasera berebut menawari saya makanan. Namun karena saya masih kenyang, saya menolak dan tetap berdiri di pinggir pujasera. Dan satu mbak-mbak yang terkesan baik memanggil saya dan berkata "mbak, masih nunggu temannya yaa, duduk disini aja mbak." Wahh mbak ini baik, yaudah saya berkata terima kasih dan permisi mau duduk disitu. Namun, seketika itu, Mbak Pujasera itu menawari saya makan, dan saya menolak. Dan seketika itu pula, ada 3 pembeli yang duduk disebelah saya, lalu mbak pujasera berkata "Mbak, permisi yaa. Kalau masih menunggu temannya, disitu aja (sambil menunjuk pendopo kotor dimana banyak orang tiduran dan berteduh dari gerimis)". Seketika saya menyimpulkan "tidak ada yang baik di yogja, kebaikannya hanyalah palsu yang mana hanya ingin mendapatkan untung pribadi semata". Amit-amit... baru kali ini saya diusir dengan kelembutan tanpa perasaan bersalah seperti itu. Kipak tenan wong-wong ndk Yogja iku, gathelll!

Yaaa, itulah sepenggal kisah saya selama 14 jam di Yogja. Kesan pertama yang buruk menurut saya. Yogja yang saya idam-idamkan sebagai kota sejarah akan budaya Jawa dan keratonnya, tidak ada suasana dan aura nJawani blassss. Kipak kabeh wong-wong ndek kono. Jowone palsu. Bahkan jarang ada orang yang berbahasa jawa kecuali jika mendengar obrolan antar pedagang. Yang sering terdengar adalah bahasa jakartaan "lo gue". Tidak ada lagi Yogjakarta yang saya idam-idamkan. Saya kecewa dan sedih dengan kondisi kota Yogja yang sekarang. Seperti orang Jepang yang mengalami paris syndrome ketika mengunjungi kota Paris, saya mengalami Yogja Syndrome setelah 14 jam mengunjungi Yogja.

nb: mohon maaf jika ada pihak yang dirugikan atau kurang berkenan dengan cerita saya, ini pure curhatan personal yang didasari atas pengalaman pribadi penulis. Terima kasih

6 komentar:

Lutfi Khoiri Rosyida mengatakan...

lucu ma.. aq suka kalo baca diselingi visualisasi gambar yang banyak ;) good writing

EMA ERVITA mengatakan...

hehe makasi yaa fifi, semangat bloggingnyaa :D

Julisa Pratiwi mengatakan...

Parah banget ya.... Gila! Jadi mikir 2x mau liburan kesana...

Obat Kuat Herbal mengatakan...

mengunjungi blog yang bagus dan penuh dengan informasi yang menarik adalah merupakan kebahagiaan tersendiri.... teruslah berbagi informasi

EMA ERVITA mengatakan...

Kak sasha: Iyaa kak, beberapa tips dr aku kalo mau ke jogja itu hrs ada temen disana yang hafal jalan dan ada kendaraan, kalo kita sendirian sedikit bahaya hehe ;p

Obtkuatherbal: terima kasih :) semangat blogging

4th Flicks mengatakan...

tepuk tangan dulu dah,ternyata masi bisa bahasa jawa alus setelah 4 taun di jakarta. :D
walah,kalo aku mending jalan tuh,ga nginep sih,cuman transit 3 jam sambil istirahatin mobil soalnya. :D

Posting Komentar

thx for visiting

best regards,
Ema Ervita